Jumat, 13 Mei 2016

KASUS GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI DI INDONESIA


1.      Sengketa Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas
      Sengketa perebutan Pulau Miangas antara Indonesia dengan Filipina telah ada pada tahun 1979. Akan tetapi sesungguhnya,
perebutan wilayah Pulau Miangas sudah ada sejak sebelum adanya Indonesia dengan Filipina. Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara Pulau Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina). Disamping itu letak Pulau Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan Pulau Miangas oleh Indonesia berdasarkan perundingan anatara Amreika Serikat dan Hindia Belanda diatas kapal Greenphil tanggal 4 April 1928 berkat keputusan arbiter internasional yang bernama DR. Max Huber, memutuskan pulau Miangas masuk ke wilayah kekuasan Hindia Belanda karena persamaan budaya dengan masyarakat Taulud. Semakin dipertegas diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia dengan Filipina di tahun 1955, dimana Miangas berada di wilayah Indonesia.
Dalam beberapa kesempatan perundingan bilateral Indonesia-Filipina sering muncul argumentasi yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas. Filipina masih menggunakan dalil bahwa La Palmas, masuk dalam posisi kotak berdasarkan Traktat Paris 1898 dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao (tugu peringatan) pendaratan Magelhaens di pulu pada tahun 1512. Di samping itu, konstitusi Filipina masih menyebutkan Las Palmas dalam yuridiksi dan kedaulatannya. Argumentasi di atas dapat ditepis pemerintah RI berdasarkan penetapan batas wilayah “Kerajaan Kepulauan Talaud” yang menjadi bagian dan tradisi masyarakat setempat. Secara historis, pengakuan batas wilayah Kerajaan Talaud telah terjadi sejak kepulauan Talaud dan Filipina bagian selatan berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Tidore.
Bersamaan argumen di atas, langkah pemindahan sebagian penduduk dan dilanjutkan dengan pembangunan gereja serta pendirian Jemaat Kristen Protestan sebagai bagian dari GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe dan Talaud) merupakan hal yang berguna bagi status Pulau Miangas. Karena ini dianggap sebagai tindakan aktif yang menghadirkan institusi gereja di pulau ini. Bahkan tercatat wilayah pelayanan gereja (GMIST) mencakup Filipina bagian selatan. Klaim politis atas Pulau Miangas, Marore dan Marampit Secara geografis, letak Miangas dan beberapa pulau lainnya di Sangihe Talaud seperti Kawio, Marampit dan Marore memang jauh dari pusat pemerintahan RI dan lebih dekat dengan Filipina. Karena itu, tak mengherankan jika penduduk Miangas lebih intens berhubungan dengan masyarakat Filipina. Apalagi sebagian kebutuhan masyarakat didatangkan dari Filipina.
Pada dekade 1960 hingga 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin intens seiring dengan adanya kesepakatan tentang batas antara kedua negara. Ironisnya, intensitas hubungan kedua negara tidak mempengaruhi kesadaran nasional warga kepulauan tersebut. Masyarakat setempat lebih mengenal pejabat Filipina ketimbang Indonesia. Hal ini terungkap ketika pada awal 1970-an sejumlah pejabat pemerintah pusat yang menyertai kunjungan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke wilayah perbatasan, melihat potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos menghiasi rumah penduduk. Mulai saat itu pula, kehidupan masyarakat perbatasan di Kabupaten Sangihe-Talaud mendapat perhatian lebih dari pemerintah, antara lain dengan membuka jaringan pelayaran perintis ke pulau-pulau terpencil. Betapapun keterpencilan membuahkan penderitaan bagi masyarakat pulau-pulau perbatasan namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, setidaknya dalam pendidikan mereka konsisten berkiblat ke Indonesia. Fenomena ini tentu positif bagi keutuhan bangsa dan negara RI.
Menurut catatan, pada tanggal 4 April 1928 di atas kapal putih Greenphil perundingan antara pemerintah Amerika dan Hindia Belanda telah memutuskan Pulau Miangas termasuk dalam wilayah kepulauan Nusantara Indonesia sebab ciri budayanya sama dengan masyarakat Talaud. Setelah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus secara tegas dinyatakan bahwa NKRI adalah dari Pulau Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Timur-Kupang. Hal itu lebih dipertegas lagi dengan diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia dengan Filipina pada tahun 1955 di Pulau Miangas, dimana Miangas tetap berada dalam wilayah Indonesia.
 Strategi Pemerintah Indonesia mempertahankan Pulau Miangas.
a.       pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Adapun prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah, wawasan nusantara, berkelanjutan dan berbasis masyarakat. (Widiyanta, Danar.2007.Upaya Mempertahankan dan Memberdayakan Pulau-pulau Terluar di Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan dan Ligitan(2002-2007), halaman 10)
b.      Dalam rangka memberdayakan pulau-pulau terluar Indonesia, pemerintah telah mengambil langkah-langkah taktis meliputi tiga aspek yaitu aspek kelembagaan, aspek yuridis dan aspek program. Untuk menangani masalah-masalah perbatasan umumnya dan pulau-pulau terluar khususnya agar lebih efektif dan optimal pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Tim Koordinasi mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Tim Juga bertugas melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. (Widiyanta, Danar.2007.Upaya Mempertahankan dan Memberdayakan Pulau-pulau Terluar di Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan dan Ligitan(2002-2007), halaman 13)
c.       Menanggapi gencarnya ungkapan kekhawatiran masyarakat, beberapa instansi pemerintah terkait berupaya meredam kemungkinan meluasnya dampak berlebihan tersebut dan meyakinkan masyarakat bahwa “effective occupation”telah dilakukan di Pulau Miangas. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Agustadi Sasongko menyatakan bahwa TNI telah melakukan beberapa pembangunan pos dan fasilitas pengamanan di Pulau Miangas.
d.      Sementara itu, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah mengupayakan pengembangan infrastruktur pulau tersebut, seperti pembangunan lapangan terbang, dan mengupayakan pelayaran yang dilakukan oleh PT. Pelni secara rutin.
e.       Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928
f.       Pemerintah Indonesia perlu menegaskan dan merealisasikan komitmen untuk mempercepat pengembangan pulau-pulau terluarnya secara komprehensif, melalui berbagai pembangunan fisik dan non fisik, perbaikan infrastruktur dan mennjadikan pulau-pulau terluar sebagai beranda nusantara. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik kepada penduduk Miangas, akan semakin menegaskan dan mengokohkan klaim atau okupasi kedaulatan negara Indonesia atas Pulau Miangas.

2.      Masalah Perbatasan Indonesia – Timor Timur
Klaim wilayah indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh malaysia, tetapi juga oleh timor leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari negara kesatuan republik indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga timor leste tepatnya di perbatasan wilayah timor leste dengan wilayah indonesia, yaitu perbatasan antara kabupaten timor tengah utara (ri) dengan timor leste. Permasalahan perbatasan antara ri dan timor leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara pemerintah ri dengan pemerintah timor leste dan kemungkinan akan dibawa ke perserikatan bangsa-bangsa (pbb) untuk mendapatkan penyelesaian. Masalah perbatasan antara indonesia dan timor leste, khususnya di lima titik yang belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Lima titik tersebut adalah imbate, sumkaem, haumeniana, nimlat, dan tubu banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga timor leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan kabupaten belu dan dua di perbatasan timor leste dengan kabupaten timor tengah utara (ttu). Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan.
Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara:
1.      Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah. Semula, pemerintah indonesia dan timor leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahselain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara. Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga.
2.      Negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas Negara.

Penyelesaian:
a.       Pemangku adat antara wilayah Perbatasan Amyoung dan Ambenu, ingin menyelesaikan titik batas dan meminta izin pemerintah pusat untuk memfasilitasi tersebut. Kedua Negara belum diperbolehkan beraktivitas di daerah perbatasan tersebut.
b.      Indonesia sudah mengambil langkah-langkah untuk memecahkan masalah ini, kedua tindakan jangka pendek (resolusi konflik) dan tindakan jangka panjang (sumber dari resolusi konflik). Dalam melaksanakan jangka pendek, konflik 2012, TNI dari Korem 161 Wirasakti Kupang berhasil menghentikan pembangunan kantor QIC oleh Timor Timur. Menurut komandan militer, konstruksi sudah melampaui perbatasan Indonesia, sehingga 20 m permintaan Timor Leste TNI untuk segera menghentikan pembangunan. Sambil menunggu penyelesaian lebih, TNI, bersama-sama dengan tentara Timor ia berhasil menghentikan konflik antara penduduk perbatasan antara kedua negara dan menciptakan kondisi yang kondusif kembali.
c.       dalam upaya untuk penyelesaian jangka panjang, diplomasi Indonesia dalam rangka mengatasi batas-segmen yang belum disepakati. Berdasarkan perjanjian perbatasan 2012, kedua negara telah sepakat untuk mengkoordinasikan 907 poin perbatasan darat, atau sekitar 96% dari total panjang garis. Garis perbatasan darat di timur (Kabupaten Belu) daerah yang berbatasan langsung dengan Covalima dan Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor barat (Kabupaten Kupang Tengah Utara dan Timor) terletak langsung di sebelah Oecussi kantong sepanjang 119,7 km.
d.      upaya diplomatik tidak hanya fokus pada penyelesaian garis demarkasi tiga segmen batas yang belum disepakati, tetapi juga pengenalan ketentuan di daerah perbatasan yang memungkinkan Timor dan warga negara Indonesia yang berada di perbatasan masing-masing untuk melanjutkan hubungan sosial dan keluarga selama ini telah ada di antara mereka. (Sekretaris situs Negara 20 Maret 2013).

3.      Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka 
Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.

Penyelesaian:
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.

4.      Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan
Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.

Penyelesaian:
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

Selain di atas juga masih ada lagi yang lain antaranya ambalat serta pulau nipa, tetapai karena kasus tersebut telah di bahas oleh dosen pengampu maka saya hanya akan menulis secara ringkas saja.

5.      Batas Daratan Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat
Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.

Penyelesaian:
Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.

6.      Batas Daratan Indonesia-Singapura mengenai Penambangan Pasir Pulau Nipa
Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.

Penyelesaian:
Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar